Rabu, 24 Februari 2021

Persoalan teknis pameran khususnya bidang publikasi

Persoalan teknis pameran khususnya bidang publikasi di Dinas Pariwisata Provinsi Riau 

Kritik Senirupa Riau 

0leh : Rio Dwi Seprianto, S.Sn 

    Pameran senirupa yang digelar di gedung kesenian idrus tintin pekanbaru menghasilkan diskusi yang kondusif terhadap persoalan teknis khusunya bidang publikasi. Kritikan tajam dari seorang seniman asal kabupaten Kampar yang bernama rio dwi seprianto menyasar langsung kepada lapisan panitia dan dua orang kurator. Dalam suatu struktur kerja, seksi pulikasi tentunya berperan untuk mempuliskan beragam atribut berupa selebaran, undangan, catalog, spanduk, brosur, baleho, poster dsb. Faktanya masih minimnya pengetahuan panitia yang mengemban bagian publikasi ini terhadap perihal kerja yang harus dilakukan sehingga berdampak signifikan pada event yang digelar. Berdasarkan pengamatan secara langsung dilapangan terlihat beberapa atribut pameran berupa spanduk dengan format vertical satu kali empat meter dipajang di sekitar area gedung pameran dan dua buah benner yang diletakkan di depan pintu masuk ruang pameran senirupa. Selanjutnya atribut berupa baleho, poster atau brosur tidak dicetak guna membantu penyebaran informasi kepada masyarakat. Lain halnya dengan catalog yang datang di antar langsung oleh orang percetakan ketika seremonial pembukaan pameran selesai dan tamu undangan sudah pulang. Tinggal para seniman yang berebutan mengambil catalog untuk menambah koleksi baru di rumah. Yang gunanya selain jadi wacana dan study banding kekaryaan juga berguna sebagai pamor dan reputasi seniman bahwa karyanya sudah dibukukan oleh pemerintah. Persoalan ini jika dibiarkan tentu akan menjadi masalah yang tidak berekor yang kian lama akan menjadi penyakit kronis yang susah untuk diobati. Pemerintah dinas pariwisata yang diberi kepercayaan sebagai panitia yang memenage tentunya harus lebih professional dan transparan dalam melaksanakan event pameran seni rupa seterusnya. Jika persoalan ini adalah kegiatan pemula atau percobaan bagi lapisan panitia, bisa dimaklumi, barang kali panitia masih baru dan belum berpengalaman soal teknis mengkover sebuah event pameran lukisan. Akan tetapi panitia adalah personel lama yang setiap tahunnya ditunjuk untuk melaksanakan kegiatan pameran seni rupa.

    Secara teknis publikasi memiliki tiga kriteria yaitu (efektifitas, relevansi, representative). Sebuah media publikasi event pameran senirupa seperti spanduk, benner dan baleho, seharusnya ditempatkan pada posisi yang strategis dan mudah dilihat audience, tidak terhalang oleh pohon, tembok, pagar dsb. Pemasangannya bisa di area objek center (taman rekreasi, mall, simpang empat lampu merah, kampus atau sekolah-sekolah yang berpotensi dan relevan untuk menambah bahan study) dll. Kurang efektif dan relevan jika atribut tersebut diletakkan hanya di area gedung pameran saja. Spanduk yang di pajang juga mestinya memiliki kemampuan komunikasi yang representative. Mudah dibaca dan dicerna audience merupakan keberhasilan publikator dalam mendesain sebuah media outdoor. menganalisa persoalan diatas sebagai perupa riau tentunya kita bersyukur dengan diadakannya pameran senirupa bertajuk “Imaji Ruang dan Warana” yang diselenggarakan pemerintah dinas pariwisata provinsi riau. Ini merupakan apresiasi pemrov terhadap para seniman yang produktif menghasilkan karya setiap tahunnya. Untuk itu parade pameran ini diadakan sebagai upaya konkrit perintah dalam merespon eksistensi seniman. Seniman yang lolos seleksi kuratorial merupakan perwakilan daerah dari 12 (dua belas) kabupaten kota sudah seharusnya dinas pariwisata provinsi mengundang kepala dinas pariwisata daerah untuk hadir menyaksikan seremonial pameran tsb. Namun faktanya gambaran ini tidak terealisasikan, barang kali menyangkut pada persoalan anggaran biaya kegiatan bla…bla..dsb. Menurut hemat saya tamu undangan tidak pakai biaya, datang atau tidak datang tidak jadi masalah. Sebab kegiatan ini dipandang dari sisi positifnya dapat menjadi parameter terhadap kemajuan kegiatan rutin pemprov. 

    Mirisnya agenda kegiatan ini tidak dihadiri oleh tamu-tamu penting. Pameran ini hanya dihadiri kadis pariwisata beserta staf dan jajaran beserta beberapa staf pegawai taman budaya pekanbaru saja. Tak lupa para seniman yang karyanya lolos pameran ditambah beberapa siswa/i utusan sekolah untuk meramaikan acara. Seolah kegiataqn ini merupakan kegiatan rahasia antara dinas pariwisata, taman budaya dan para seniman. Kemana perginya kolektor, kritikus, masyarakat pengamat dan pecinta seni?? Yang seharusnya mereka bias mengoleksi karya jika harga disepakati, mengkritik sebagai wacana baru lisan (diskusi) dan tertulis (media cetak), begitu pula bagi pengamat dan pecinta seni yang siapa tahu mereka juga berpotensi untuk megoleksi sebuah lukisan dari ruang pameran. By.Rio Dwis

Senin, 09 November 2020

rio dwi seprianto Masjid Islamik center Kota Bangkinang Kabupaten Kampar


    Masjid Islamic Center Bangkinang di Kabupaten kampar merupakan satu diantara Masjid-masjid besar yang ada di Provinsi Riau . letak geografis 60 KM dari kota Pekanbaru. memiliki arsitektur gaya turki yang dinamis dan artistik. dibangun pada tahun 2009 dengan anggaran Pemda Bangkinang Kab. Kampar. luas tanah besrkisar+- 2 H. memiliki eksterior taman dan kolam yang bisa menyejukkan mata dan perasaan kita. menjadi pusat tempat peribadatan umat islam kota Bangkinang dan sekitarnya serta tempat persinggahan bagi musafir yang kebetulan lewat melintasi kota Bangkinang. 

 

 

lukisan Surealis RioDwis dari Indonesia


 
Artis : Rio Dwi Seprianto Judul : Mencari Cahaya Media : Oil on Canvas 140x110cm 2016 




Jumat, 13 September 2013

FENOMENA SENILUKIS YANG MENITIK BERATKAN PADA KEKUATAN KONSEP


Oleh: Rio Dwi Seprianto,S.Sn
(Pelaku dan pengamat seni)

Sekilas flashback mencermati beragam karya-karya seni lukis yang berkembang di Indonesia pada  rentang dasawarsa ini. Terjadi persoalan fundamental yang mengakibatkan perubahan signifikan khususnya dekadensi seni (art decadention) pada paradigma lukisan. Jika di amati secara kasat mata persoalan tersebut terdapat dua factor penting, pertama; adanya penyimpangan estetika yang kian marak sebagai upaya representasi dari visualisasi karya. Munculnya aliran atau gaya baru yang bertolak belakang dengan devinisi seni merupakan cikal bakal dekadensi tersebut. Seni sebagai perwakilan dari suatu bentuk keindahan berubah menjadi seni sebagai retorika yang hanya mengutamakan kekuatan konsep tanpa memperhatikan estetika penampilan karya. Peristiwa ini terjadi disebabkan transisi seniman (sebagai pelaku seni) yang notabane merupakan objek atau pelaku utama dari lukisan yang sudah tidak berada pada horizon estetika itu sendiri.  Sehingga lukisan sebagai subjeck matter menjadi polemic, kritikal dan perdebatan yang tidak ada habisnya.
Tidak bisa dipungkiri bahwa pada hakekatnya tujuan akhir dari pelukis adalah memamerkan karyanya kepada khalayak ramai atau masyarakat luas sehingga terjadi kompensasi dan hubungan mutualistis antar pelaku seni dan masyarakat seni khususnya. Ketika seniman sudah berpameran di berbagai event “kecil maupun besar” bukan tidak mungkin seniman tersebut sudah memiliki nama yang cukup dikenal di kalangan pecinta seni, seperti  kurator, kolektor, kritikus seni, kolekdol, dan pengamat seni. 
           Faktor kedua dari masalah tersebut erat hubungannya dengan individu pelukis yang di asumsikan mengalami kejenuhan dalam berkarya. Hal ini konon dipersepsikan sebagai titik akhir dari proses berkesenian khusunya dalam proses berkarya sesuai teknik dan gaya yang ditekuni. pelukis sudah  bosan atau tidak berkeinginan lagi berkaya disebabkan teknik atau gaya tersebut sudah lazim dan besar kemungkinan sudah tidak di minati pangsa seni. Fenomena inilah yang  mengakibatkan karya-karya yang lahir berubah total menjadi bentuk-bentuk anomaly atau tidak wajar dari perspektif kontek seni yang sesungguhnya. Karya-karya tersebut di klaim sebagai karya penyimpangan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah dan prinsip seni yang benar dan yang sudah disepakati secara akademis. Persepsi di atas bagi pelaku seni yang mengalami proses demikian terdoktrin secara psikologis baik fisik, mental dan fikirannya dianggap sudah terganggu. Bukankah lukisan pada prinsipnya adalah sebuah bentuk komunikasi  berupa pesan yang disampakan kepada orang yang melihatnya. ketika lukisan tersebut tidak mampu berkumunikasi kepada orang yang melihanya atau lukisan tersebut hanya mampu berbicara untuk individu pelukisnya, hal ini dianggap sebagai bentuk naurosis.

Senin, 20 Mei 2013

Hang Jebat



Hana Amira & riodwiseprianto




 Hang Jebat ,Pencil on Paper 




Selayang kisah;
Hang Jebat adalah saudara seperguruan Hang tuah yang mati ditangan hang tuah. tertikam karena keinginannya sendiri, oleh keris yang bernama patih kursanih demi menutup semua kisah yang penuh dengan konflik dan pransangka dendam membakar yang bersemayam di benaknya. DJebat yang semula murka karena kematian hang tuah mengamuk dan memberontak kepada kerajaan Melaka dan membumi hanguskan prajurit2 melaka hingga membunuh datuk  bendahara, djebat berjalan membela Hang tuah, namun perbuatannya telah membunuh ribuan orang tak berdosah hingga Hangtuah di keluarkan dari penjara dan di utus untuk membunuh Hang djebat.




Arsila Khairunisa & riodwiseprianto

Kamis, 14 Maret 2013

Galeri Ruang Lukisan